Awan mendung menggumpal di atas
sana. Langit yang tadinya biru muda berubah menjadi keabu-abuan. Mungkin tidak
lama lagi hujan lebat akan turun. Sore ini aku harus melatih anak-anak bermain
seni rebana untuk persiapan tampil besok dalam rangka peringatan hari besar
kelahiran nabi muhammad yang biasa disebut maulid nabi.
Benar, hujan pun turun. Ku
langkahkan kaki ini menuju sekolah sebelum hujan semakin deras. Hujan terus
mengejar. Payung digenggamanku segera ku buka. Jalanan yang terbuat dari
jajaran kayu ulin tidak membuat kaki kotor. Aku terus melangkah dengan gerakan
semakin cepat. Sampai di sekolah
terlihat beberapa anak sedang berteduh di teras sekolah. Mereka baru saja
bermain bulutangkis. Udara dingin membuat tubuh mereka menggigil. Sambil duduk
di atas lantai teras sekolah, mereka berusaha menyeka air hujan yang menempel
di tubuh.
Melihat anak-anak kedinginan,
segera aku mengambil kunci kantor agar mereka bisa menghangatkan tubuh di dalam
ruangan. Semua kunci ruangan sekolah ada di dalam kantor kecuali kunci kantor
itu sendiri yang dititipkan di salah satu rumah dinas guru yang letaknya tidak
jauh dari sekolah. Tidak lama pintu kantor telah terbuka. Aku pun mengambil
kunci ruang kelas empat yang mana besok akan digunakan untuk acara maulid nabi.
Berharap sore ini bisa langsung gladi bersih. Namun, hati ini menjadi kecil.
Aku pesimis anak-anak akan datang melihat hujan yang sangat deras disertai
udara begitu dingin yang mampu membuat jari-jari tangan ini kaku. Apalagi
kebanyakan mereka tidak memiliki payung.
Akan tetapi, pesimis pun hilang.
Tidak lama aku menunggu dari kejauhan terlihat anak-anak berlarian dengan baju
basah kuyup menuju sekolah. Mereka datang meski tidak ada payung di tangannya. Mereka
berani berhujan-hujanan meski udara dingin menusuk setiap lapis kulitnya. Mereka
telah ada di depanku dengan pakaian tidak terlihat lagi bagian keringnya. Senyuman
manis terukir dari bibirnya sambil berucap, “ Maaf pak kami terlambat, hujannya
kencang.” Tentu saja aku tahu alasan mereka terlambat datang. Tidak mungkin aku
memarahinya. Dan tentu tidak pantas aku menganggapnya sebagai keterlambatan.
Justru sebaliknya, rasa bangga dan keharuan menghiasi hati ini melihat
anak-anak dengan penuh tanggung jawab terhadap tugasnya meskipun dalam kondisi
cukup berat.
Segera setelah semua lengkap aku
mulai latihan dan gladi bersih persiapan penampilan besok. Pesimis di hati pun
muncul lagi. Hasil dari latihan masih jauh dari harapanku. Antusiasme dan
keseriusan anak-anak berkurang. “Mungkin gara-gara tadi kehujanan dan
kedinginan membuat mereka tidak bisa sekompak pada latihan sebelumnya”, aku
menghibur hatiku.
Waktu pun terus berjalan.
Sebentar lagi matahari akan terbenam. Namun, hujan tidak juga kunjung reda.
Sambil menunggu hujan berhenti, Salma menghampiriku,” Pak besok yang perempuan
memakai rok hitam, bisa?” Memang untuk kostum khusus belum punya. Penampilan
besok adalah pengalaman pertama mereka tampil di depan umum. Sehingga kelengkapan
untuk tampil belum lengkap. Aku hanya menyarankan untuk tampil besok memakai
baju muslim dan berjilbab untuk yang perempuan dan bertopi (berpeci) untuk yang
laki-laki. Namun, hati ini dibuatnya bergetar. Ternyata anak-anak memiliki
inisiatif sendiri untuk bisa menyamakan kostum. Untuk yang perempuan akan
memakai rok hitam dengan jilbab panjang. Sedangkan yang laki-laki akan memakai
kain sorban layaknya seorang kiai. Sepulang sekolah tadi mereka keliling
kampung untuk mencari pinjaman rok hitam dan kain sorban. Ya, semua bukan karena
perintahku tapi itu atas ide mereka sendiri.
Hari penampilan pertama mereka
pun tiba. Acara dimulai sedikit terlambat menunggu tamu undangan datang.
Undangan berasal dari seluruh siswa SDN 005 Tanjung Harapan, orang tua/ wali
murid, perangkat desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Acara di awali dengan
pembacaan ayat suci Al-Qur’an beserta terjemahnya yang dibawakan oleh Danil,
siswa kelas 4 dan Rahman, siswa kelas 5. Acara dilanjutkan dengan pemutaran
film dokumenter SDN 005 Tanjung Harapan dan desa Selengot yang telah ku siapkan
sehari sebelumnya. Dan acara penampilan seni rebana pun akhirnya datang juga.
Hatiku kembali dibuatnya takjub. Mulai kostum, cara mereka masuk, cara mereka
memberi salam kepada tamu undangan jauh lebih baik daripada latihan
kemarin. Semangat mereka saat penampilan
pun membara bagai bara api yang tak akan padam-padam. Kekompakan dan keseriusan
selaras dengan alunan musik rebana yang teriring dengan gerakan-gerakan telapak
tangan lembut mereka. Tamu undangan pun antusias menikmati setiap bait dari
gerakan dan suara penampilan mereka. Mereka sukses pada penampilan pertamanya.
Mereka bahagia. Setelah acara selesai ku sempatkan untuk foto bersama mereka,
anak-anak yang akan terus mengepakkan sayap-sayapnya untuk melengkapi setiap
mimpi-mimpinya. Seminggu lagi mereka diminta untuk tampil lagi. Penampilan
kedua mereka di acara maulid nabi juga yang diadakan oleh desa.
Komentar
Posting Komentar