Mereka memang istimewa. Aku
semakin percaya bahwa setiap anak terlahir dengan keunikan masing-masing. Siang
itu aku berdiri di depan mereka. Di sebuah kelas dengan lantai dan dinding
tersusun dari jajaran papan kayu. Kelas paling ujung selatan. Sekolah ku
menghadap ke barat. Dari paling ujung utara hingga ke selatan berurutan ruang
kelas 1, kelas 3, ruang guru, gudang, perpustakaan, kelas 4, kelas 5, dan kelas
6. Ya aku sedang berdiri di depan kelas enam. Kelas paling senior. Siswa-siswa
paling besar di sekolah. Dan banyak orang mengatakan kelas yang berisi
anak-anak yang sedang berada di puncak kenakalan. Namun, aku merasakan berbeda.
Aku melihat dan merasakan berlian-berlian itu mudah untuk diukir. Aku menamainya
sebagai laskar bintang. Bintang-bintang yang kelak akan bersinar di
penjuru-penjuru nusantara. Mereka berjumlah delapan belas.
Siang itu aku mengawali pelajaran
dengan bercerita. Cerita berjudul “Cermin buruk Muka” yang ku kutip dari buku
BSE Bahasa Indonesia. Dengan diiringi instrumen musik aku mengawali cerita
dengan teriakan suara ku yang paling keras. Sejenak mereka pun kaget dan
terdiam. Ku lanjutkan cerita dengan suara melunak. Seperti bergaya membacakan
puisi, cerita ku bawakan dengan intonasi naik turun. Kadang-kadang aku
menirukan gerakan tokoh yang ada di cerita dengan mengikutsertakan juga
anak-anak sebagai tokoh lain. Di luar dugaan ku, mereka sangat antusias mendengarkan
cerita yang ku bawakan. Tak terasa cerita pun telah berada di penghujung. “Cerita
lagi, pak. Lanjut cerita yang lain ”, terdengar celetukan dari mereka. Namun,
cerita harus ku akhiri. Ku ajak anak-anak untuk memetik amanat dan hikmah dari
cerita tersebut. Berebut mereka menjawab, menyampaikan pendapatnya
masing-masing.
Ya, mereka memang istimewa.
Aktivitas ku lanjutkan masuk ke materi inti. Setelah menjelaskan beberapa
materi ku minta anak-anak membuka buku soal untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
persiapan UN. “Soalnya gak ditulis, bisa Pak?”, tanya Udin kepadaku dengan
logat Bugisnya. “ Ya, bisa.”, jawabku singkat. “Pak A,B,C-nya saja, bisa?”,
Muslimin ganti bertanya kepadaku. “Tidak bisa, harus lengkap”, jawabku ringan.
Di akhir pelajaran selalu ku sisipkan
motivasi pentingnya pendidikan. Setiap kali aku cerita masalah pendidikan
selepas SD mereka cukup antusias mendengarkan. Namun, ada salah seorang dari
mereka yang tiap aku bercerita masalah SMP dia terdiam menundukkan kepala. Baisah. Dia salah seorang anak yang pintar
matematika dan juga jago bulu tangkis. Pernah saya mengobrol empat mata dengan
dia. Dan kesimpulannya orang tua Baisah tidak mengizinkan ia melanjutkan SMP
yang harus keluar desa karena SMP di desa belum ada. Alasannya, orang tua tidak
tega melihat Baisah terjadi apa-apa.
Semangat Baisah yang tinggi
membuat hatiku bergetar. Pernah saya meminta menulis sepuluh impian mereka di
selembar kertas. Dan Baisah menuliskan keinginannya dinomor 1 sampai 5 intinya
sama, bisa lanjut ke SMP. Berkali-kali juga Baisah meminta saya untuk menemui
orang tuanya untuk memintakan izin dia agar bisa lanjut SMP.
Kini tekad Baisah tidak sia-sia.
Tahun ini SMP Satu Atap 005 Tanjung Harapan resmi dibuka. Saya lihat wajah
ceria Baisah
menghiasi setiap senyumannya. Akan tetapi, tidak berhenti sampai
disitu. Lagi-lagi orang tua tidak mengizinkan dia lanjut. Entah apa alasannya
tidak jelas juga. Baisah meminta saya untuk memintakan izin ke orang tua agar
dia boleh lanjut SMP. Aku berharap kali ini Baisah sendiri bisa menjelaskan ke
orang tua dengan ketulusan hatinya dan penuh harap akan pentingnya pendidikan.
Dan hasilnya Baisah resmi pula diizinkan orang tua lanjut SMP.
Pagi-pagi di hari pertama
pendaftaran SMP, Baisah sudah siap bersama teman-temannya untuk mendaftar SMP.
Semangat luar biasa yang membuat aku kagum dengan mereka. Berlian-berlian itu
mulai terukir, berkilau menyinari masa depan di kemudian hari. Kini mereka
resmi terdaftar sebagai siswa SMP. Tak terkecuali dengan Baisah.
Komentar
Posting Komentar