Kadang
kita ada di posisi mengakibatkan konflik yang tampak seperti bencana, dan kita
tak tahu apa-apa. Apakah itu kebetulan atau tidak, kita seakan tak bisa
menghindarinya.
Setahun
yang lalu sebuah perusahaan besar telah memutuskan bekerja sama dengan
perusahaan tempatku bekerja sebagai supplier
utama kebutuhan tembaga. Ditandatangani kerjasama dua tahun yang akan diperpanjang
setiap tahunnya. Di saat yang sama aku sedang menikmati peranku sebagai senior di
divisi marketing. Dua bulan kemudian, manajerku memilih resign dengan alasan menerima pinangan dari sebuah perusahaan
multinasional. Isunya, kemampuannya yang sudah tersohor di dunia marketing,
membuatnya ditawari posisi lebih tinggi dengan gaji lebih dari tiga kali. Aku
tidak pernah pusing akan hal itu. Sampai pada titik, posisi pimpinan divisi
kosong.
Nyatanya,
alih-alih sulit mencari orang baru yang belum karuan akan sevisi dengan
nilai-nilai perusahaan, maka dicarilah pengganti dari orang dalam. Semua
terjadi begitu cepat hingga akulah yang kemudian dititah menjadi pengganti. Singkatnya
harga tembaga anjlok. Performa perusahaan tembaga menurun, beberapa tambang
tembaga mulai ditutup. Alhasil persediaan tembaga menjadi terhambat. Mau tidak
mau, melemahnya ekonomi dunia turut berperan dalam lesunya ekonomi perusahaan
kami. Apalah mau dikata, usaha tetap usaha. Manajemen meminta inovasi dari
divisi marketing. Pasalnya kami berperan besar untuk tetap bertahan diantara
gejolak ekonomi di perusahaan kami. Sedangkan timku sendiri aku rasai
kocar-kacir. Hampir semua target tidak tercapai. Setiap anggota yang kuminta
membuat strategi, lebih asyik mengkritik kepemimpinanku ketimbang berinovasi
dan berkreasi.
Himpitan
tantangan yang berwujud tekanan kerja dari atasan dan bahkan bawahan membuatku
merasa kalah telak. Di saat demikian aku sering mengutuki diri dengan: itulah
jika terlalu tergila-gila pada karir. Semakin dikejar, akan semakin banyak yang
harus dikorbankan. Dulu aku punya teman, hingga akhirnya hubungan kami hanya sebatas
atasan dan bawahan. Dulu aku punya seseorang, hingga akhirnya dia memilih pada
yang sudah siap memperistri. Apa lacur, kini karir hampir berakhir, istri pun
tiada.
Dan
kalau saja, satu kejadian berubah. Kalau saja manajerku tidak resign karena perusahaanku mencoba menahan
dengan apresiasi lebih tinggi atau kondisi ekonomi dunia yang tetap stabil atau
tambang tembaga tidak terusik atau manajemen
yang lebih memahami setiap usahaku atau timku bisa lebih menghargaiku atau aku
masih memiliki seseorang yang akan bisa mendukung dan mengingatkanku karena dia
tidak tergoda pada lelaki lain, maka aku tidak akan merasa jatuh-sejatuhnya
sekarang. Aku masih bisa hidup bahagia, setidaknya dengan karir sebagai senior
atau dengan teman atau dengan seseorang. Tapi itulah kehidupan, rangkaian
peristiwa yang saling terkait, di luar kendali siapapun.
Aku
masih ingat dengan sebuah laporan yang kubuat dengan grusa-grusu dalam bentuk ppt, memakan tidak kurang dari duapuluh slide, tidak profesional menurut timku,
kecil-kecil dan kurang rapi, seseorang dari mereka mendengus: bahasa
Indonesiaku sangat buruk. Belum habis heranku. Sebagai seseorang yang kini paling
senior di divisi kantor, bisa dengan mudah dihina sedemikian rupa oleh tim yang
aku pimpin sendiri. Tahu apa mereka, toh pengalaman mereka paling banter hanya
seperdua dari pengalamanku bertahun-tahun di perusahaan ini, sisanya adalah
anak-anak baru yang merasa sudah cukup ilmu. Bukan lagi soal omongan di
belakang, bahkan mereka sudah berani menyalahkanku di depan forum, menggunjingkan
yang mereka tak suka tentangku dari kursi-kursi mereka, yang tepat hanya dua
meter paling jauh dari meja kantorku.
Tentang
laporan, manajemen menolak mentah-mentah. Tidak ada progress nyata dari target, tim tidak kompak, kemauan belajar yang
kurang, semuanya disebut dengan enteng
hingga sebuah pertanyaan, “bisa atau tidak menjadi leader?” dalam sebuah meeting
manajemen di depan para leader di
perusahaan ini. Malu? Tak mungkin tidak.
Pikirku,
jika kemudian karena aku memiliki masa kerja paling lama di divisiku hingga
akhirnya aku yang terangkat sebagai satu-satunya kandidat leader, apa itu permintaanku? Tidak. Jika kemudian aku yang masih
belum dibekali apa pun dan kemudian dianggap belepotan dalam pikir, wacana,
lisan dan tindakan sebagai seorang pemimpin, apakah itu salahku? Sungguh tidak
bagiku. Apa sebab? Bukan mauku untuk dinobatkan, bukankah aku berbaik hati
mengambil risiko untuk menyelamatkan divisi. Dari awal aku sadari, pengalaman
memimpinku hanya sebatas ketua regu Pramuka saat SMA, maka jangan selalu
menyalahkan jika belum puas dengan kemampuan dan performaku.
Aku
tahu, pikiranku sedang terlalu tenggelam dengan emosi dan ego. Hari ini hari
Jumat. Akan kuambil jatah cutiku yang masih utuh pada hari Senin. Sepulang
kantor kukemasi beberapa barang yang mungkin kuperlukan, sepasang kaos polo warna
putih dan celana jeans Giordano kesayangan, perlengkapan pribadi dan charger HP. Aku sedang ingin istirahat,
tak kan kubawa perkakas yang berkaitan dengan kerjaan. Kuputuskan untuk pulang,
bukan ke rumah ibu dan bapak. Dalam pemikiran singkat, aku memilih rumah mbah
kakung di Kemiren. Mungkin suasana lereng gunung Ijen akan bisa membuat tenang.
***
Dari
awal aku sengaja mematikan sinyal data. Aku sedang memilih menjadi pengecut
dengan menghindari setiap informasi dari grup kantor. Sebuah SMS masuk. dr. Prames PMI: Mas Lin dimana? Saya mau pamitan. Senin saya berangkat pindah praktek
ke Sumatera. Kiranya mas Lin mau bertemu atau ada yang mau disampaikan.
Kubaca dengan tanpa membalas, aku masukkan lagi HP ke saku celana. Aku
membenarkan posisi duduk dan menarik sabuk pengaman pada kursi, sementara lewat
seorang pramugari memastikan jumlah penumpang di atas kabin.
***
Sabtu.
Mbah
kakung sedang asyik merawat kopi. Semenjak kepergian mbah puteri, si mbah
menikmati masa pensiunnya dengan menanami sendiri sepetak tanah dengan kopi. Sambil
menemani si mbah, kulepaskan pandang sepanjang lereng gunung Ijen. Agaknya
pemerintah mulai sadar untuk menggiatkan kembali perkebunan kopi, bahwa
sejatinya Banyuwangi memiliki kopi Robusta dan Arabica dengan rasa unik. Setidaknya
itu yang aku dengar dari media-media.
“Kamu
ada masalah, Par? Tidak biasanya kamu pulang ke Kemiren,” tanya mbah kakung
memecah diam.
“Jangan
panggil Par mbah. Aku biasa dipanggil Lin di Jakarta,” jawabku mengalihkan.
Si
mbah tertawa, pipinya yang peot-peot tertarik ke samping-menyamping dan matanya
menjadi hilang. “Owalah, lawong
namamu Suparlin, apa salah mbah panggil Par? Lagipula mbah lebih mengenalmu
sebagai Par.”
Semenjak
aku mulai kuliah ke kota dan meninggalkan desa kelahiranku di Blitar, aku mulai
mengubah nama panggilanku menjadi Lin atau Parlin. Lebih mengandung nilai
estetika menurutku, daripada Par atau Supar.
“Kamu
ini kenapa? Datang-datang lesu. Apa kamu gak mampu beli beras di kota? Sampai
kuyu begitu. Besok pulang bawa beras dari sini, si mbah masih ada banyak beras dari
hasil panen kopi tahun lalu.”
“Tidak
mbah. Untuk makan Alhamdulillah sudah lebih dari cukup. Si mbah tidak perlu
kuatir.”
Tiba-tiba
ia menggurui. “Umurmu berapa Par? Sudah waktunya kamu menikah. Setidaknya ada
yang bisa urus makanmu selagi kamu kerja. Ada yang bisa kau jadikan tempat
cerita.”
Siang
ini matahari terlalu irit cahaya. Seharusnya hawa sudah lebih menghangat. Kemudian
kami meninggalkan kebun, aku berjalan di belakang si mbah. Lambat-lambat
seperti orang tua. Semakin kuresapi apa-apa yang diucap si mbah, sambil
berjalan menekuri bumi.
***
“Dulu
mbah putrimu yang selalu meracikkan kopi untuk si mbah. Selalu khas rasanya.
Sudah bertahun-tahun mbah sendiri, belum pernah mbah bisa hasilkan kopi seenak
buatan mbah putri.” Kemudian tangannya bergerak-gerak gemetar menyodorkan kopi
panas. Satu untukku, satu untuk dirinya sendiri. “Meski tak seperti buatan mbah
puteri, setiap mencium aroma kopi, cukup membantu si mbah untuk melepas rindu.”
Si
mbah tahu bahwa aku bukan pecinta kopi. Bahkan aku sering kembung setiap minum
kopi. Jika kopi dianggap sebagai ritual manly
untuk setiap lelaki, maka aku rasa aku tidak membutuhkannya. Tapi saat ini,
kurasa hangat kopi akan membantuku untuk menikmati dinginnya angin gunung di
malam hari.
“Jadi?”
Tanya si mbah, dia tekuri secangkir kopi di depannya. Lamat-lamat kami
sama-sama sedang menikmati pikiran dan kenangan masing-masing. Bedanya, si mbah
sedang bersinggungan mesra dengan kenangan manis bersama mbah puteri, sementara
aku kembali meratapi bencana yang aku alami. Lagi-lagi si mbah memecah diam.
Terdengar suara sruputannya yang pertama.
“Aku
bosan mbah. Memang posisiku sedang bagus di kantor sejak awal tahun ini. Lalu
semuanya berubah setelah aku iyakan untuk naik jabatan. Mereka jadi sinis
padaku.”
“O...
masalah teman?” Jawab si mbah ringan seraya tenggelam dalam wangi kopi.
“Bukan
hanya perkara teman mbah, mereka anak buahku sekarang,” jawabanku mulai emosi.
“Sejak
kapan lantas kau berkepribadian sunyi macam itu? Jika kini kau memimpin mereka,
bukan berarti kemudian kau rendahkan mereka hingga tak sejajar sebagai temanmu.
Pantas saja jika kau merasa sepi. Sesungguhnya kau yang mendamba rasa sendiri itu.” Suara si mbah meninggi.
Tak
pernah kuduga aku akan jadi gagu begini, maka kularikan pikiranku pada cangkir
kopi yang masih utuh isinya. Kucecap kopi panasku yang mulai hangat. Aku bisa
rasakan hangatnya perlahan dari tenggorokan lalu turun ke lambung pada tegukan
yang pertama. Rasanya pahit dan manisnya pas. Tak kutemukan rasa masam di
antaranya. Beda dengan kopi-kopi hitam instan yang pernah kucoba.
“Bu-bukan begitu mbah. Nya-nyatanya setiap
pemimpin membutuhkan jarak dan ketegasan dengan bawahannya. Dengan begitu maka
mereka akan bisa menurut jika kuperintah. Tidak lagi menganggapku sebagai teman
yang bisa dijadikan bahan bercanda sehingga acuh pada aturan-aturanku,
keputusan-keputusanku.”
“Jika
kau menanyakan pendapatku tentang
hubungan atasan dan bawahan yang semestinya menjadi titik pangkal hubungan saling
butuh dan saling bantu satu dan lainnya, aku akan bisa menjelaskan. Meski
mbahmu ini tidak pernah jadi pemimpin kantoran, setidaknya mbahmu paham betul
bagaimana berpuluh tahun ikut menjadi bawahan dari atasan yang luar biasa
bijaksana.”
Dia
tampak menimang-nimang cangkir di tangan kanannya. Lalu diteguk kembali hingga
tinggal separo.
“Sssssp
(gleg) Ahh...”, terdengar desah puas atas kopinya.
“Jika
kemudian atasan dan bawahan itu hanya jadi semacam pertemuan resmi yang
bersifat sementara untuk pekerjaan, tidak mustahil jika kemudian datanglah perpisahan
sambil mengabarkan kejelekan dan kekurangan masing-masing. Hubungan semacam ini
bukankah akan membuat pemimpin menjadi lebih tidak mulia dan lebih tidak terhormat?”
Lagi.
Aku perlukan pelarian. Dengan kasar aku teguk kopiku. Tidak hanya sekali teguk,
3-4 kali. Kali ini berbeda dengan kesan pertama, ada rasa pahit yang pekat. Sepahit
kalimat terakhir si mbah.
“Tapi
mbah, di sisi lain aku pun mendapat tekanan dari bosku. Kerjaan harus beres.
Bagaimana akan fokus pada pekerjaan, jika aku masih berkutat pada masalah tim
yang tak akur. Lalu, jika karna gajiku naik dua kali lipat, maka sah-sah saja bosku
marah atas apa pun yang berkaitan dengan ketidakberesan divisiku? Kiranya semua
pikir, aku hanya bocah atau boneka yang menjalankan apa mau bos atas bawahan?”
Aku sadar kalimatku terucap dengan cepat. Bukan hanya karena masalahku, tetapi
juga kesal karena si mbah sama sekali tidak membelaku.
“Berkali-kali
aku didesak dengan strategi untuk mengelola timku. Aku yakin tak ada yang
tercecer dari rencanaku. Aku sudah melakukan apa pun yang bosku minta. Tapi
tetap saja, aku selalu salah jika rencana-rencana itu tak berbuah hasil. Lebih
parah lagi, semua yang kulakukan sarat dengan kesalahan di mata anak buahku.
Kan mbah tidak tahu itu? Pengalaman pemimpin dan bawahan mbah berakhir setelah
mbah pensiun. Selanjutnya, mbah hanya tahu tentang kopi.”
“Brak!”
Belum
pernah kusaksikan si mbah marah dengan menggebrak meja. Si mbah adalah orang
bijaksana yang pernah kukenal, itu sebab dengan mudah kuputuskan untuk pulang
kemari.
“Kalau kau menganggap pekerjaan memimpin
manusia tidak akan jauh lebih sulit daripada mengurus kopi, karena manusia
memang bukan kopi. Tahu apa kau tentang kopi?”
Temaram
lampu menegaskan kerut yang bertambah pada dahinya. Dia sempatkan menyruput
kopinya hingga tinggal seperlima cangkir dan tidak meneruskan lagi. Sisa endapan
dengan sedikit air kopi, pun aku.
Dilanjutkan
ceramahnya, “biji kopi yang kau minum, harus disimpan bertahun-tahun untuk
hasil sempurna. Lima tahun untuk jenis Robusta dan delapan tahun untuk Arabica.
Tak hanya itu, cara proses yang berbeda dapat menghasilkan rasa yang berbeda
pula. Tahu kau? Dari 100 kilogram biji kopi kering yang dikumpulkan, hanya
sekitar 80 kilogram bubuk kopi yang bebas dari rasa masam. Dan mbah puterimu,
tak pernah dia mengeluh mengerjakan itu. Kau pikir gampang memasak biji kopi menggunakan
kayu bakar dan menyangrai dengan nanangan? Hasilnya? Tak bisa kau bandingkan
dengan kopi instan yang dijual dipasaran. Tak akan pernah sebanding.”
“Begitu
pun manusia. Orang sama dengan pemimpin berbeda, belum tentu akan ada hasil
kerja yang sama. Jangan kau pimpin anggotamu dengan membuat mereka kerdil dan
cebol oleh ilusi perintahmu. Mereka punya haknya untuk berkembang, dengan
kenyataan-kenyataan yang mereka ciptakan. Jika menurutmu mereka semua harus
menerima kenyataan bahwa kaulah bosnya, itu semua adalah yang kau inginkan,
bukan kenyataannya.”
“Bertindak
terhadap seorang dan terhadap banyak orang membutuhkan pengertian dan cara yang
berlainan. Anggota lebih mudah dihasut atau digerakkan, tergantung pada
kualitas pimpinannya. Bila ditimbang dari pimpinannya ataupun anggotanya, timmu
ini belum mampu meningkatkan diri jadi kualitas. Kalian hanya akan tinggal jadi
tumpukan batu yang diikat satu-sama lain oleh impian pribadi di siang bolong,
bukan impian bersama, maka tak bisa melahirkan impian bersama.”
Aku
hanya mendengarkan si mbah yang terus berkotbah. Kupalingkan pandang pada
jendela kayu di depanku.
“Jika
kemudian bos dan anggota menuntutmu, sekalipun tidak nyaman, itu telah menjadi
kewajibanmu sejak kau nyatakan kesanggupan. Hukuman namanya Par, bagi setiap
orang yang tidak dapat menempatkan diri secara tepat dalam tata kehidupannya.”
Suaranya
kini jadi dalam, “kadang dunia
berusaha menggoyahkan keyakinanmu. Bertambahnya
waktumu bekerja di sana bukan berarti kau paham segalanya. Sekarang, kau hanya sedang
panen kekecewaan yang pertama. Namun jika tak kau ubah caramu memimpin, kau
akan panen lebih banyak lagi. Sadarilah, bahwa keteladanan, berbicara lebih
keras daripada kata-kata. Jangan-jangan selama ini kau tidak memimpin sebagai
manusia, kau hanya tuntut mereka tanpa teladan. Kau terlalu sibuk dengan daftar
rencana. Saran-saranmu kemudian menjadi instruksi untuk mereka. Kalau kau terus
begitu, anggota-anggotamu hanya akan hadapi kau, dan kau sudah takkan mengenal
mereka sebagai anggotamu, kecuali hanya namanya. Kan kau juga tak ingin dikenal
hanya dari lama masa kerjamu di sana, yang selanjutnya terlupakan, terlempar
seperti sepotong gombal di pojokan?”
Si
mbah menatapku dalam-dalam untuk mengharapkan bantahan atau pembenaran, atau
dua-duanya sekaligus. Aku yakin mukaku terlihat tegang, pucat, dan kering
seperti kertas. Aku tercenung. Pada waktu itu aku menyadari, aku telah
berkembang menjadi seorang sadis. Dan betapa aku berlatih dengan cukup keras
untuk menjadi orang sadis seperti ini, tanpa menyesali perbuatanku. Dengan
menganiaya timku begini rupa, aku merasa berbobot, terhormat dan gembira. Lalu
aku merasa jijik pada diriku sendiri. Ini nampak seperti titik tanpa kembali.
Dibiarkannya
aku tak berkata-kata. Si mbahku yang orang Jawa kolot itu tahu apa hal terbaik
yang harus dia sampaikan padaku, “kamu ini sudah waktunya menikah. Tidak perlu
wanita yang sempurna. Carilah wanita yang cukup baik untuk jadi istri seorang
suami yang baik. Memang menikah bukan penyelesaian untuk setiap masalahmu. Tapi
sejatinya, dengan berumah tangga kamu akan belajar menjadi pemimpin yang
sesungguhnya.”
Si
mbah tertawa. Baru kusadari beberapa giginya sudah tanggal lebih banyak dari
terakhir aku menjenguknya.
“Minum
kopinya.” Dan aku mengerutkan dahi. Apa mau diminum sudah hampir sisa ampas
begini. Tapi aku tetap mengikuti apa yang dia contohkan. “Minum kopi paling
nikmat adalah pada bagian akhirnya. Sisa rasa kawin antara kopi dan gulanya
akan tertinggal di sana.”
Luar
biasa. Baru kali ini aku merasakan kopi ternikmat untuk pertama kalinya.
Sekarang aku tahu bagaimana kopi mengapungkan
kenangan si mbah atas mbah puteri, mengembalikan cintanya yang tak akan pernah
hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indahnya
kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat aku dan si mbah berkaca atas
apa-apa yang kami bicarakan malam ini.
“Oiya,
hubungi Prames. Dari nada suaranya terdengar rasa khawatir yang tulus.”
“Mbah?”
“Dia
tadi telepon ke HP-mu ketika kamu masih di masjid.”
Aku
memerlukan memeluk si mbah dan mengucapkan terimakasih. Malam itu akan jadi
malam pertama aku berani mengambil keputusan-keputusan besar untuk diriku,
cintaku dan karir... oh bukan karir... dan teman-temanku.
Tiba-tiba
rindu itu menggejala. Aku rindukan senyum pertama Prames yang ayu, kudapati
secara tidak sengaja dalam acara kerelawanan PMI. Kini kurasakan aku sedang
tersenyum.
***
Minggu.
Aku
pamit pada si mbah. Kini tak dibawakannya aku beras, tapi beberapa kilo kopi
bubuk hasil olahan si mbah sendiri. Matur
nuwun mbah.
Aku
mengirim dua pesan:
1. dr. Prames
PMI: Semoga kamu masih mau bertemu denganku. Ya. Ada sesuatu yang ingin
kusampaikan. Sampai jumpa di Jakarta.
2. Grup
Marketing Asoy: Selamat siang semuanya. Hari Senin saya masih akan cuti.
Jika ada yang perlu kita putuskan bersama, saya akan selalu bisa dihubungi.
Hari Selasa saya adakan meeting jam 10 pagi. Mohon disiapkan apa pun (tenang,
saya tidak minta list strategi). Saya minta saran kritik untuk saya, harapan
teman-teman sekalian atas sikap saya. Terima kasih. Ada ide mau meeting dimana?
***SELESAI***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti
Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory.
Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Komentar
Posting Komentar