Langsung ke konten utama

Aroma Kopi di Kemiren


Kadang kita ada di posisi mengakibatkan konflik yang tampak seperti bencana, dan kita tak tahu apa-apa. Apakah itu kebetulan atau tidak, kita seakan tak bisa menghindarinya.
Setahun yang lalu sebuah perusahaan besar telah memutuskan bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja sebagai supplier utama kebutuhan tembaga. Ditandatangani kerjasama dua tahun yang akan diperpanjang setiap tahunnya. Di saat yang sama aku sedang menikmati peranku sebagai senior di divisi marketing. Dua bulan kemudian, manajerku memilih resign dengan alasan menerima pinangan dari sebuah perusahaan multinasional. Isunya, kemampuannya yang sudah tersohor di dunia marketing, membuatnya ditawari posisi lebih tinggi dengan gaji lebih dari tiga kali. Aku tidak pernah pusing akan hal itu. Sampai pada titik, posisi pimpinan divisi kosong.
Nyatanya, alih-alih sulit mencari orang baru yang belum karuan akan sevisi dengan nilai-nilai perusahaan, maka dicarilah pengganti dari orang dalam. Semua terjadi begitu cepat hingga akulah yang kemudian dititah menjadi pengganti. Singkatnya harga tembaga anjlok. Performa perusahaan tembaga menurun, beberapa tambang tembaga mulai ditutup. Alhasil persediaan tembaga menjadi terhambat. Mau tidak mau, melemahnya ekonomi dunia turut berperan dalam lesunya ekonomi perusahaan kami. Apalah mau dikata, usaha tetap usaha. Manajemen meminta inovasi dari divisi marketing. Pasalnya kami berperan besar untuk tetap bertahan diantara gejolak ekonomi di perusahaan kami. Sedangkan timku sendiri aku rasai kocar-kacir. Hampir semua target tidak tercapai. Setiap anggota yang kuminta membuat strategi, lebih asyik mengkritik kepemimpinanku ketimbang berinovasi dan berkreasi.
Himpitan tantangan yang berwujud tekanan kerja dari atasan dan bahkan bawahan membuatku merasa kalah telak. Di saat demikian aku sering mengutuki diri dengan: itulah jika terlalu tergila-gila pada karir. Semakin dikejar, akan semakin banyak yang harus dikorbankan. Dulu aku punya teman, hingga akhirnya hubungan kami hanya sebatas atasan dan bawahan. Dulu aku punya seseorang, hingga akhirnya dia memilih pada yang sudah siap memperistri. Apa lacur, kini karir hampir berakhir, istri pun tiada.
Dan kalau saja, satu kejadian berubah. Kalau saja manajerku tidak resign karena perusahaanku mencoba menahan dengan apresiasi lebih tinggi atau kondisi ekonomi dunia yang tetap stabil atau tambang tembaga tidak  terusik atau manajemen yang lebih memahami setiap usahaku atau timku bisa lebih menghargaiku atau aku masih memiliki seseorang yang akan bisa mendukung dan mengingatkanku karena dia tidak tergoda pada lelaki lain, maka aku tidak akan merasa jatuh-sejatuhnya sekarang. Aku masih bisa hidup bahagia, setidaknya dengan karir sebagai senior atau dengan teman atau dengan seseorang. Tapi itulah kehidupan, rangkaian peristiwa yang saling terkait, di luar kendali siapapun.
Aku masih ingat dengan sebuah laporan yang kubuat dengan grusa-grusu dalam bentuk ppt, memakan tidak kurang dari duapuluh slide, tidak profesional menurut timku, kecil-kecil dan kurang rapi, seseorang dari mereka mendengus: bahasa Indonesiaku sangat buruk. Belum habis heranku. Sebagai seseorang yang kini paling senior di divisi kantor, bisa dengan mudah dihina sedemikian rupa oleh tim yang aku pimpin sendiri. Tahu apa mereka, toh pengalaman mereka paling banter hanya seperdua dari pengalamanku bertahun-tahun di perusahaan ini, sisanya adalah anak-anak baru yang merasa sudah cukup ilmu. Bukan lagi soal omongan di belakang, bahkan mereka sudah berani menyalahkanku di depan forum, menggunjingkan yang mereka tak suka tentangku dari kursi-kursi mereka, yang tepat hanya dua meter paling jauh dari meja kantorku.
Tentang laporan, manajemen menolak mentah-mentah. Tidak ada progress nyata dari target, tim tidak kompak, kemauan belajar yang kurang, semuanya disebut dengan enteng hingga sebuah pertanyaan, “bisa atau tidak menjadi leader?” dalam sebuah meeting manajemen di depan para leader di perusahaan ini. Malu? Tak mungkin tidak.
Pikirku, jika kemudian karena aku memiliki masa kerja paling lama di divisiku hingga akhirnya aku yang terangkat sebagai satu-satunya kandidat leader, apa itu permintaanku? Tidak. Jika kemudian aku yang masih belum dibekali apa pun dan kemudian dianggap belepotan dalam pikir, wacana, lisan dan tindakan sebagai seorang pemimpin, apakah itu salahku? Sungguh tidak bagiku. Apa sebab? Bukan mauku untuk dinobatkan, bukankah aku berbaik hati mengambil risiko untuk menyelamatkan divisi. Dari awal aku sadari, pengalaman memimpinku hanya sebatas ketua regu Pramuka saat SMA, maka jangan selalu menyalahkan jika belum puas dengan kemampuan dan performaku.
Aku tahu, pikiranku sedang terlalu tenggelam dengan emosi dan ego. Hari ini hari Jumat. Akan kuambil jatah cutiku yang masih utuh pada hari Senin. Sepulang kantor kukemasi beberapa barang yang mungkin kuperlukan, sepasang kaos polo warna putih dan celana jeans Giordano kesayangan, perlengkapan pribadi dan charger HP. Aku sedang ingin istirahat, tak kan kubawa perkakas yang berkaitan dengan kerjaan. Kuputuskan untuk pulang, bukan ke rumah ibu dan bapak. Dalam pemikiran singkat, aku memilih rumah mbah kakung di Kemiren. Mungkin suasana lereng gunung Ijen akan bisa membuat tenang.

***

Dari awal aku sengaja mematikan sinyal data. Aku sedang memilih menjadi pengecut dengan menghindari setiap informasi dari grup kantor. Sebuah SMS masuk. dr. Prames PMI: Mas Lin dimana? Saya mau pamitan. Senin saya berangkat pindah praktek ke Sumatera. Kiranya mas Lin mau bertemu atau ada yang mau disampaikan. Kubaca dengan tanpa membalas, aku masukkan lagi HP ke saku celana. Aku membenarkan posisi duduk dan menarik sabuk pengaman pada kursi, sementara lewat seorang pramugari memastikan jumlah penumpang di atas kabin.

***

Sabtu.
Mbah kakung sedang asyik merawat kopi. Semenjak kepergian mbah puteri, si mbah menikmati masa pensiunnya dengan menanami sendiri sepetak tanah dengan kopi. Sambil menemani si mbah, kulepaskan pandang sepanjang lereng gunung Ijen. Agaknya pemerintah mulai sadar untuk menggiatkan kembali perkebunan kopi, bahwa sejatinya Banyuwangi memiliki kopi Robusta dan Arabica dengan rasa unik. Setidaknya itu yang aku dengar dari media-media.
“Kamu ada masalah, Par? Tidak biasanya kamu pulang ke Kemiren,” tanya mbah kakung memecah diam. 
“Jangan panggil Par mbah. Aku biasa dipanggil Lin di Jakarta,” jawabku mengalihkan.
Si mbah tertawa, pipinya yang peot-peot tertarik ke samping-menyamping dan matanya menjadi hilang. “Owalah, lawong namamu Suparlin, apa salah mbah panggil Par? Lagipula mbah lebih mengenalmu sebagai Par.”
Semenjak aku mulai kuliah ke kota dan meninggalkan desa kelahiranku di Blitar, aku mulai mengubah nama panggilanku menjadi Lin atau Parlin. Lebih mengandung nilai estetika menurutku, daripada Par atau Supar.
“Kamu ini kenapa? Datang-datang lesu. Apa kamu gak mampu beli beras di kota? Sampai kuyu begitu. Besok pulang bawa beras dari sini, si mbah masih ada banyak beras dari hasil panen kopi tahun lalu.”
“Tidak mbah. Untuk makan Alhamdulillah sudah lebih dari cukup. Si mbah tidak perlu kuatir.”
Tiba-tiba ia menggurui. “Umurmu berapa Par? Sudah waktunya kamu menikah. Setidaknya ada yang bisa urus makanmu selagi kamu kerja. Ada yang bisa kau jadikan tempat cerita.”
Siang ini matahari terlalu irit cahaya. Seharusnya hawa sudah lebih menghangat. Kemudian kami meninggalkan kebun, aku berjalan di belakang si mbah. Lambat-lambat seperti orang tua. Semakin kuresapi apa-apa yang diucap si mbah, sambil berjalan menekuri bumi.

***

“Dulu mbah putrimu yang selalu meracikkan kopi untuk si mbah. Selalu khas rasanya. Sudah bertahun-tahun mbah sendiri, belum pernah mbah bisa hasilkan kopi seenak buatan mbah putri.” Kemudian tangannya bergerak-gerak gemetar menyodorkan kopi panas. Satu untukku, satu untuk dirinya sendiri. “Meski tak seperti buatan mbah puteri, setiap mencium aroma kopi, cukup membantu si mbah untuk melepas rindu.”
Si mbah tahu bahwa aku bukan pecinta kopi. Bahkan aku sering kembung setiap minum kopi. Jika kopi dianggap sebagai ritual manly untuk setiap lelaki, maka aku rasa aku tidak membutuhkannya. Tapi saat ini, kurasa hangat kopi akan membantuku untuk menikmati dinginnya angin gunung di malam hari.
“Jadi?” Tanya si mbah, dia tekuri secangkir kopi di depannya. Lamat-lamat kami sama-sama sedang menikmati pikiran dan kenangan masing-masing. Bedanya, si mbah sedang bersinggungan mesra dengan kenangan manis bersama mbah puteri, sementara aku kembali meratapi bencana yang aku alami. Lagi-lagi si mbah memecah diam. Terdengar suara sruputannya yang pertama.
“Aku bosan mbah. Memang posisiku sedang bagus di kantor sejak awal tahun ini. Lalu semuanya berubah setelah aku iyakan untuk naik jabatan. Mereka jadi sinis padaku.”
“O... masalah teman?” Jawab si mbah ringan seraya tenggelam dalam wangi kopi.
“Bukan hanya perkara teman mbah, mereka anak buahku sekarang,” jawabanku mulai emosi.
“Sejak kapan lantas kau berkepribadian sunyi macam itu? Jika kini kau memimpin mereka, bukan berarti kemudian kau rendahkan mereka hingga tak sejajar sebagai temanmu. Pantas saja jika kau merasa sepi. Sesungguhnya kau yang mendamba rasa sendiri itu.” Suara si mbah meninggi.
Tak pernah kuduga aku akan jadi gagu begini, maka kularikan pikiranku pada cangkir kopi yang masih utuh isinya. Kucecap kopi panasku yang mulai hangat. Aku bisa rasakan hangatnya perlahan dari tenggorokan lalu turun ke lambung pada tegukan yang pertama. Rasanya pahit dan manisnya pas. Tak kutemukan rasa masam di antaranya. Beda dengan kopi-kopi hitam instan yang pernah kucoba.
 “Bu-bukan begitu mbah. Nya-nyatanya setiap pemimpin membutuhkan jarak dan ketegasan dengan bawahannya. Dengan begitu maka mereka akan bisa menurut jika kuperintah. Tidak lagi menganggapku sebagai teman yang bisa dijadikan bahan bercanda sehingga acuh pada aturan-aturanku, keputusan-keputusanku.”
“Jika kau  menanyakan pendapatku tentang hubungan atasan dan bawahan yang semestinya menjadi titik pangkal hubungan saling butuh dan saling bantu satu dan lainnya, aku akan bisa menjelaskan. Meski mbahmu ini tidak pernah jadi pemimpin kantoran, setidaknya mbahmu paham betul bagaimana berpuluh tahun ikut menjadi bawahan dari atasan yang luar biasa bijaksana.”
Dia tampak menimang-nimang cangkir di tangan kanannya. Lalu diteguk kembali hingga tinggal separo.
“Sssssp (gleg) Ahh...”, terdengar desah puas atas kopinya.
“Jika kemudian atasan dan bawahan itu hanya jadi semacam pertemuan resmi yang bersifat sementara untuk pekerjaan, tidak mustahil jika kemudian datanglah perpisahan sambil mengabarkan kejelekan dan kekurangan masing-masing. Hubungan semacam ini bukankah akan membuat pemimpin menjadi lebih tidak mulia dan lebih tidak terhormat?”
Lagi. Aku perlukan pelarian. Dengan kasar aku teguk kopiku. Tidak hanya sekali teguk, 3-4 kali. Kali ini berbeda dengan kesan pertama, ada rasa pahit yang pekat. Sepahit kalimat terakhir si mbah.
“Tapi mbah, di sisi lain aku pun mendapat tekanan dari bosku. Kerjaan harus beres. Bagaimana akan fokus pada pekerjaan, jika aku masih berkutat pada masalah tim yang tak akur. Lalu, jika karna gajiku naik dua kali lipat, maka sah-sah saja bosku marah atas apa pun yang berkaitan dengan ketidakberesan divisiku? Kiranya semua pikir, aku hanya bocah atau boneka yang menjalankan apa mau bos atas bawahan?” Aku sadar kalimatku terucap dengan cepat. Bukan hanya karena masalahku, tetapi juga kesal karena si mbah sama sekali tidak membelaku.
“Berkali-kali aku didesak dengan strategi untuk mengelola timku. Aku yakin tak ada yang tercecer dari rencanaku. Aku sudah melakukan apa pun yang bosku minta. Tapi tetap saja, aku selalu salah jika rencana-rencana itu tak berbuah hasil. Lebih parah lagi, semua yang kulakukan sarat dengan kesalahan di mata anak buahku. Kan mbah tidak tahu itu? Pengalaman pemimpin dan bawahan mbah berakhir setelah mbah pensiun. Selanjutnya, mbah hanya tahu tentang kopi.”
“Brak!”
Belum pernah kusaksikan si mbah marah dengan menggebrak meja. Si mbah adalah orang bijaksana yang pernah kukenal, itu sebab dengan mudah kuputuskan untuk pulang kemari.
 “Kalau kau menganggap pekerjaan memimpin manusia tidak akan jauh lebih sulit daripada mengurus kopi, karena manusia memang bukan kopi. Tahu apa kau tentang kopi?”
Temaram lampu menegaskan kerut yang bertambah pada dahinya. Dia sempatkan menyruput kopinya hingga tinggal seperlima cangkir dan tidak meneruskan lagi. Sisa endapan dengan sedikit air kopi, pun aku.
Dilanjutkan ceramahnya, “biji kopi yang kau minum, harus disimpan bertahun-tahun untuk hasil sempurna. Lima tahun untuk jenis Robusta dan delapan tahun untuk Arabica. Tak hanya itu, cara proses yang berbeda dapat menghasilkan rasa yang berbeda pula. Tahu kau? Dari 100 kilogram biji kopi kering yang dikumpulkan, hanya sekitar 80 kilogram bubuk kopi yang bebas dari rasa masam. Dan mbah puterimu, tak pernah dia mengeluh mengerjakan itu. Kau pikir gampang memasak biji kopi menggunakan kayu bakar dan menyangrai dengan nanangan? Hasilnya? Tak bisa kau bandingkan dengan kopi instan yang dijual dipasaran. Tak akan pernah sebanding.”
“Begitu pun manusia. Orang sama dengan pemimpin berbeda, belum tentu akan ada hasil kerja yang sama. Jangan kau pimpin anggotamu dengan membuat mereka kerdil dan cebol oleh ilusi perintahmu. Mereka punya haknya untuk berkembang, dengan kenyataan-kenyataan yang mereka ciptakan. Jika menurutmu mereka semua harus menerima kenyataan bahwa kaulah bosnya, itu semua adalah yang kau inginkan, bukan kenyataannya.”
“Bertindak terhadap seorang dan terhadap banyak orang membutuhkan pengertian dan cara yang berlainan. Anggota lebih mudah dihasut atau digerakkan, tergantung pada kualitas pimpinannya. Bila ditimbang dari pimpinannya ataupun anggotanya, timmu ini belum mampu meningkatkan diri jadi kualitas. Kalian hanya akan tinggal jadi tumpukan batu yang diikat satu-sama lain oleh impian pribadi di siang bolong, bukan impian bersama, maka tak bisa melahirkan impian bersama.”
Aku hanya mendengarkan si mbah yang terus berkotbah. Kupalingkan pandang pada jendela kayu di depanku.
“Jika kemudian bos dan anggota menuntutmu, sekalipun tidak nyaman, itu telah menjadi kewajibanmu sejak kau nyatakan kesanggupan. Hukuman namanya Par, bagi setiap orang yang tidak dapat menempatkan diri secara tepat dalam tata kehidupannya.”
Suaranya kini jadi dalam, “kadang dunia berusaha menggoyahkan keyakinanmu. Bertambahnya waktumu bekerja di sana bukan berarti kau paham segalanya. Sekarang, kau hanya sedang panen kekecewaan yang pertama. Namun jika tak kau ubah caramu memimpin, kau akan panen lebih banyak lagi. Sadarilah, bahwa keteladanan, berbicara lebih keras daripada kata-kata. Jangan-jangan selama ini kau tidak memimpin sebagai manusia, kau hanya tuntut mereka tanpa teladan. Kau terlalu sibuk dengan daftar rencana. Saran-saranmu kemudian menjadi instruksi untuk mereka. Kalau kau terus begitu, anggota-anggotamu hanya akan hadapi kau, dan kau sudah takkan mengenal mereka sebagai anggotamu, kecuali hanya namanya. Kan kau juga tak ingin dikenal hanya dari lama masa kerjamu di sana, yang selanjutnya terlupakan, terlempar seperti sepotong gombal di pojokan?”
Si mbah menatapku dalam-dalam untuk mengharapkan bantahan atau pembenaran, atau dua-duanya sekaligus. Aku yakin mukaku terlihat tegang, pucat, dan kering seperti kertas. Aku tercenung. Pada waktu itu aku menyadari, aku telah berkembang menjadi seorang sadis. Dan betapa aku berlatih dengan cukup keras untuk menjadi orang sadis seperti ini, tanpa menyesali perbuatanku. Dengan menganiaya timku begini rupa, aku merasa berbobot, terhormat dan gembira. Lalu aku merasa jijik pada diriku sendiri. Ini nampak seperti titik tanpa kembali.
Dibiarkannya aku tak berkata-kata. Si mbahku yang orang Jawa kolot itu tahu apa hal terbaik yang harus dia sampaikan padaku, “kamu ini sudah waktunya menikah. Tidak perlu wanita yang sempurna. Carilah wanita yang cukup baik untuk jadi istri seorang suami yang baik. Memang menikah bukan penyelesaian untuk setiap masalahmu. Tapi sejatinya, dengan berumah tangga kamu akan belajar menjadi pemimpin yang sesungguhnya.”
Si mbah tertawa. Baru kusadari beberapa giginya sudah tanggal lebih banyak dari terakhir aku menjenguknya.
“Minum kopinya.” Dan aku mengerutkan dahi. Apa mau diminum sudah hampir sisa ampas begini. Tapi aku tetap mengikuti apa yang dia contohkan. “Minum kopi paling nikmat adalah pada bagian akhirnya. Sisa rasa kawin antara kopi dan gulanya akan tertinggal di sana.”
Luar biasa. Baru kali ini aku merasakan kopi ternikmat untuk pertama kalinya. Sekarang aku tahu bagaimana kopi mengapungkan kenangan si mbah atas mbah puteri, mengembalikan cintanya yang tak akan pernah hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indahnya kegagalan. Hening menjadi cermin yang membuat aku dan si mbah berkaca atas apa-apa yang kami bicarakan malam ini.
“Oiya, hubungi Prames. Dari nada suaranya terdengar rasa khawatir yang tulus.”
“Mbah?”
“Dia tadi telepon ke HP-mu ketika kamu masih di masjid.”
Aku memerlukan memeluk si mbah dan mengucapkan terimakasih. Malam itu akan jadi malam pertama aku berani mengambil keputusan-keputusan besar untuk diriku, cintaku dan karir... oh bukan karir... dan teman-temanku.
Tiba-tiba rindu itu menggejala. Aku rindukan senyum pertama Prames yang ayu, kudapati secara tidak sengaja dalam acara kerelawanan PMI. Kini kurasakan aku sedang tersenyum.

***

Minggu.
Aku pamit pada si mbah. Kini tak dibawakannya aku beras, tapi beberapa kilo kopi bubuk hasil olahan si mbah sendiri. Matur nuwun mbah.
Aku mengirim dua pesan:
1.  dr. Prames PMI: Semoga kamu masih mau bertemu denganku. Ya. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Sampai jumpa di Jakarta.
2.  Grup Marketing Asoy: Selamat siang semuanya. Hari Senin saya masih akan cuti. Jika ada yang perlu kita putuskan bersama, saya akan selalu bisa dihubungi. Hari Selasa saya adakan meeting jam 10 pagi. Mohon disiapkan apa pun (tenang, saya tidak minta list strategi). Saya minta saran kritik untuk saya, harapan teman-teman sekalian atas sikap saya. Terima kasih. Ada ide mau meeting dimana?

***SELESAI***



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory. Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DISAAT TUHAN MEMILIHKAN DAN MENGARAHKAN

(The Greatest Momentum) Entah apa yang membuat aku tak juga menemukannya. Setiap kali mengikuti tes masuk kerja aku selalu gagal di saat tes terakhir. Tes kesehatan. Awal bulan Mei, aku sangat yakin akan mulai bekerja. Mendapatkan gaji. Menghidupi diri sendiri. Bersedekah. Bisa menabung. Namun, semuanya terpupus begitu saja saat tes kesehatan harus aku lalui. Gagal. Atau lebih tepatnya belum rejeki. Mulai aku bergerilya mencari informasi lowongan kerja. Warnet (Warung internet) dan warkop (warung kopi) menjadi sasaran utama. Hingga rutinitas mulai tercipta. Setiap pagi, jari-jari ini bergerak-gerik sekedar mengetik kata "Lowongan kerja 2012" di sebuah akses internet. Siangnya berganti mengembara ke warung kopi untuk mencari sisa-sisa koran hari itu. Pastinya, informasi lowongan kerja yang menjadi pencarian utama. Di samping itu, harapan besar masih mengiang-ngiang. Beberapa tes hasil jobfair yang telah ku ikuti ada beberapa yang masih berlanjut. Hingga terpaksa aku l

Menapaki Jembatan ke Arah Senja

“ Sekarang Allah telah meringankan kepadamu, dan Dia mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Jika ada seratus orang di antara kamu yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang dan jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 66) By : Mei Yunlusi Irawati Permasalahan dalam hidup ini seakan tak pernah surut. Berganti dari masalah satu ke masalah lainnya. Karena inilah makna hakiki kehidupan, siklus sebuah proses pendewasaan diri. Tak kan ada ujian jika tak ada level penjenjangan kualitas diri. Tak kan ada kata baik, jika tak ada keburukan. Dan tak kan ada kata putus asa jika kita semua bersemangat. Menyadari adanya kemungkinan – kemungkinan dalam diri ini atas potensi yang ada, saya hanya mencoba mengoptimalkan usia muda yang merupakan zaman keemasan setiap makhluk di bumi ini, jika mereka menyadari. Meski tak banyak yang sudi, a

Antara Miris dengan Bangga

                Lawe-lawe merupakan sebuah kampung yang berada di selatan teluk Balikpapan. Kalau anda mau kesana, dari Balikpapan harus menyebrang dulu menggunakan kapal speed atau boat sekitar 15-20 menit. Selama penyebrangan anda akan menyaksikan pemandangan yang cukup mempesona mulai dari kapal-kapal tanker pertamina yang sedang berlabuh, aktivitas masyarakat yang menyebrang menggunakan kapal boat, ombak laut yang tiba-tiba menggulung, bahkan dapat disaksikan pula pertemuan antara air tawar dengan air laut yang cukup jelas perbedaannya. Akan lebih menarik lagi jika perjalanan dilakukan pada malam hari. Akan nampak keindahan kerlap-kerlip lampu kilang bagai kota New York.     Ini adalah pengalamanku saat kerja praktek di Pertamina Balikpapan. Hari itu Rabu di bulan Agustus. Pagi ba’da subuh aku dijemput oleh temanku yang berada sekitar 20 km dari tempat tinggalku. Sungguh semangat yang luar biasa. Meski disini sudah pukul 05.30 tapi alam masih tertutup hitam kelam seperti puku