Aku mulai meraba-raba. Kulihat
langit mendung di sudut sana. Di balik terangnya matahari yang terhimpit oleh
hitamnya kabut disiang hari.
Aku terpesona dengan alam Selengot yang indah
menawarkan sejuta kenangan. Tak lepas mata ini memandang laut yang mulai
kelabu. Anak-anak begitu riang meloncat dari balik jembatan, berenang
disela-sela perahu yang sedang bersandar. Tercium kebahagiaan yang tak terbeli
di tanah lain. Ibu-ibu menggelar ikan di bawah terik matahari yang sangat
menyengat. Bapak-bapak menyulam jala agar tangkapannya esok lebih terihat. Kayu-kayu
ulin berjajar rapi mengantarkanku ke sebuah tempat . Tempat yang mengantarkan
berlian-berlian kecil untuk terus berkilau. Di tempat inilah empat belas bulan
aku akan bersama mereka. SDN 005 Tanjung Harapan. Sebuah bangunan dari kayu
dengan cat khas berwarna hijau bealaskan kayu-kayu ulin yang berdiri kokoh di
atas lumpur laut selat Makasar. Sebuah tiang tanpa bendera berdiri kokoh di di
depannya.
Aku mulai membaca. Lembar demi
lembar ku buka untuk mencari sesuatu. Sesuatu yang sulit untuk dibacakan. Ku
lihat tawa riang anak-anak menyambutku, menyapaku, berebut bisa memegang
tanganku. Senyum tulus dari mereka memberikan kehangatan yang tak tergantikan.
“ Pak ngajar di kelas satu ya,.”
“Jangan Pak, di kelas dua
saja,..”
“ Kelas tiga Pak,..”
“ Kelas empat dong Pak, belum
pernah diajar kami..”
“ Kelas lima pak , kelas lima,
seterusnya kelas lima,...”
“ Kami Pak kelas enam, mau ujian
Pak, kelas enam ya,..”
Hatiku beradu. Benih-benih cinta
yang muncul membuat ku ingin lebih dekat dengan semua. Aku pun juga tidak tahu
apa yang membuat mereka ingin dekat dengan ku. Aku menanti. Menanti sebuah harapan.
Harapan dari berlian-berlian itu untuk bisa bersinar menerangi sudut-sudut
kegelapan.
Dua, tiga, empat, dan seterusnya
aku telusuri. Aku membaca. Aku melihat. Tanah ini sedang cemburu. Tanah ini
sedang mengadu. Secuil motivasi dari orang tua pun tidak mereka dapatkan.
Bahkan ketika akan ujian guru pun harus masuk dari satu rumah ke rumah lain
sekedar mengajak mereka agar segera ke sekolah. Tak jua ada perasaan bersalah
dari orang tua. Ia sibuk dengan jalanya yang telah siap menghantam secuil nasi
di balik samudera yang luas. Ada cerita
lain yang membuat hatiku ingin berontak. Dikala sang berlian hendak mengikuti
sebuah perlombaan di kabupaten, bapak-ibu enggan melepas kepergian sang anak.
Baju-baju sang anak pun dibawanya pergi ke laut. Alasannya, mereka tidak mau
berpisah dengan anak-anaknya. Entah apakah ini sebuah cinta yang teremat.
Mereka lebih suka jika anak-anaknya ikut melaut menangkap segenggam emas fana.
Mereka lebih suka jika anak-anaknya menimbang udang untuk diganti beberapa
keping uang. Mereka lebih suka jika anak-anaknya mau menarik gerobak buat
menjajakan sedikit tangkapannya menuju tempat penjaja. Tak juga disayangkan, ketika anak-anaknya
lebih suka mengaca daripada membaca. Padahal hatinya yang bening mampu bersinar
melebihi terangnya bintang-bintang yang ada di sudut keramaian kota.
Namun, benih-benih bintang itu
terlihat disini. Melihat sebuah kenyataan
dalam bayangan masa lalu. Berlian-berlian itu ingin melangkah. Mereka ingin
terbang sebebas kepakan sayap burung garuda. Setinggi bintang-bintang di
angkasa. Tuk menyapa negeri yang telah lama menanti. Menantikan perajut-peraajut
jala yang telah rusak.
Komentar
Posting Komentar