Sejak pagi tadi langit malu-malu
menampakkan birunya . Mendung kelam menutupi sebagian besar lazuardi tana
Paser. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Drum-drum air hujan yang telah
kosong karena kemarau datang, kini terisi kembali. Hujan gerimis disusul
percikan yang lebih besar membasahi hutan-hutan sawit, laut teluk apar, dan
juga jajaran kayu tanah Selengot. Di Akhir Ramadhan ini seakan Tuhan sedang
merencanakan sesuatu. Menunjukkan ke-Maha Besaran-Nya. Menjelang lebaran, air
berlimpah lagi. Senyum bahagia menghiasi desa yang memang kebutuhan hidupnya
sangat ditentukan oleh percikan-percikan air dari langit itu. Aktivitas warga
membuat wade (kue) lebaran terlihat di setiap sudut desa Selengot. Seakan
menjadi cara ngabuburit mereka menanti waktu berbuka di akhir Ramadhan.
Aku melihat layar di HP. Tak juga
ada pesan atau telpon. Biasanya di malam terakhir Ramadhan banyak SMS atau
telpon bertukar maaf. Saling berhalal bihalal. Bermain kata indah untuk
menunjukkan ketulusan permintaan maafnya. Namun, satu pun tak terdengar
deringnya. Ku amati dengan teliti simbol bar di layar HP. Ternyata memang
nihil. Kata orang memang sedang ada gangguan jaringan. Padahal ku niatkan malam ini untuk menelpon orang tuaku
di pulau perantauan sana. Semoga saja besok jaringan sudah kembali normal lagi.
Tahun ini memang ku sengaja untuk
lebaran di desa dimana aku ditugaskan untuk belajar banyak hal. Ya mumpung
disini, setahun saja aku ingin merasakan bagaimana lebaran di kampung orang yang
jauh dari tanah kelahiranku. Tak ada keluarga atau saudara sedarah. Namun, aku
merasakan orang-orang di desa ini telah menjadi keluargaku. Meskipun banyak
teman di kampung halaman sana yang kecewa karena aku tidak pulang, tetapi aku
bahagia, memang ini pilihanku.
Waktu berbuka pun telah tiba.
Sempat bapak angkatku berkata sebelum menikmati menu buka, ”Buka yang terakhir,
semoga tahun depan masih bisa merasakan lagi.” Aku mengamininya. Bahagia
rasanya berbuka bersama keluarga angkatku disini yang berlimpah kasih sayang
padaku. Adzan maghrib berkumandang. Terdengar candaan bapak angkatku, “Sudah
dipanggil, pasti kembali lima lagi.” Benar perkiraan bapak angkatku. Kini
masjid kembali sepi lagi. Saat isya’ pun tiba. Yang pada hari sebelumnya
orang-orang datang sebelum adzan berkumandang, kini iqomah akan dilantunkan
tetapi hanya beberapa bapak dan anak kecil saja yang ada di dalam masjid.
Di akhir sembahyang isya’
beberapa bapak tetap tinggal di dalam masjid, berdiskusi masalah zakat fitri.
Aku ikut nimbrung. Miris mendengarnya. Zakat baru akan dibagikan sore atau
malam di hari lebaran. Atau dalam kata lain zakat baru dibagikan setelah sholat
id. Aku berusaha menjelaskan. Sempat terjadi perdebatan kecil. Namun, walhasil
aku masih kalah. Kata mereka itu tidak apa-apa karena ada ulama yang
membolehkan. Lagipula warga baru membayar zakat besok setelah subuh. Jadi tidak
sempat kalau dibagikan sebelum sholat id. Repotnya lagi katanya orang yang
biasanya mengurusi zakat di desa ini sedang berhalangan. Jadi tidak bisa
membantu mengurusi zakat. Perasaan bersalah muncul dalam diriku. Beberapa hari
terakhir di bulan Ramadhan ini aku ada di kota karena mengurusi beberapa hal.
Baru sampai di desa hari ini, hari terakhir berpuasa. Andaikan aku ada di desa
hari-hari sebelumnya, meskipun hanya
pendatang, mungkin aku bisa mengingatkan ke warga atau panitia zakat agar
segera diadakan pengumpulan zakat fitri. Aku tidak tahu kalau kondisinya
seperti ini.
Hati semakin prihatin. Aku
bertanya ke pak Imam kok tidak ada yang mengumandangkan takbir yang biasanya di
desa-desa lain di penghujung Ramadhan seperti ini meriah terdengar sahutan
suara takbir. Namun, disini berbeda. Setelah sholat isya’ masih sepi-sepi saja.
Beliau malah menawarkan ku untuk mengumandangkan takbir. “Atau nanti saja
menunggu anak-anak.”, kata beliau.
Kini aku sendiri di masjid.
Sambil menunggu anak-anak, tapi tak juga datang. Aku menyalakan amplifier. Ku
pegang mikrofon. Dan ku suarakan takbir. Ya sendirian. Terasa aneh memang.
Namun, tak lama, beramai-ramai anak datang ke masjid. Mereka langsung nimbrung
ikut mengumandangkan takbir. Hemmm.... memang sebenarnya harus ada yang
mengawali dan memberi contoh dengan santun.
Sekitar pukul sepuluh malam aku
pulang. Di depan rumah ada beberapa anak didikku yang menunggu kedatanganku.
Diantaranya Devi, Eka, Halia, dan Dahe. Mereka membawa sebuah nampan ukuran
sedang. Aku bertanya, “Apa itu?”. “Ini buat Pak Wito, kenang-kenangan di akhir
Ramadhan ini.” Ku buka tutup nampan itu. Kaget, bingung, bahagia. Sebuah kue
tar berbentuk persegi yang di atasnya bertuliskan “BUAT PAK WITO” dengan
beberapa hiasan di tepi-tepinya. “Kalian kah yang membuatnya?”, tanyaku kepada
mereka. Mereka menganggukkan kepala dengan malu-malu. Seakan aku mendapat
durian runtuh. Bahagia dan terharu. Hampir-hampir saja kelopak mata ini tak
kuasa menahan butiran-butiran air dari sudut mata. Rasa capek dan kesal di malam ini seakan terobati tanpa ada bekas.
Ku ucapkan terima kasih kepada mereka.
Aku menanyakan habis berapa biaya untuk membuat kue itu. Kata mereka
bahan sudah tersedia, ibu mereka sering membuat kue lebaran. Mereka berharap
setelah aku pulang nanti, aku takkan melupakan anak-anak di desa ini. Setelah
Ramadhan dan setelah lebaran waktu akan terasa begitu cepat. Terasa cepat pula
aku akan meninggalkan desa ini. Entah lah siapkah aku untuk berpisah dengan
mereka.... ternyata airmata menetes juga di kesendirian di penghujung Ramadhan tahun ini
.
Komentar
Posting Komentar