Aku terbangun dari tidur malamku.
Keluar kamar, melihat adik-adikku telah sibuk menyiapkan baju gamis, sajadah, dan
peci untuk siap-siap ke masjid menjalankan sebuah sunah. Adzan subuh
berkumandang. Tetes demi tetes air membasuh muka dan bagian-bagian yang harus
dikenai aliran air suci itu. Dalam sebuah prosesi ‘wudlu’. Terasa dingin pagi
ini. Setidaknya ada dua shaf laki-laki dan satu shaf perempuan mengikuti sholat
jamaah subuh di satu-satunya masjid di desaku.
Pukul 06.00 WITA. Langit masih
terihat gelap. Namun, dari sudut-sudut desa telah nampak gamis dan mukena putih
berjalan menghias jajaran kayu ulin Selengot. Aku baru akan mandi. Rasa ngantuk
berat belum mau pergi menjadi beban di kelopak mata. Ya efek semalam begadang
di dalam kamar.
Kaki pun melangkah bersama
keluarga disini menuju sebuah bangunan, tempat orang-orang membentuk barisan-barisan
kebaikan. Sampai di jembatan, pak Bake, seorang ta’mir masjid minta bantuanku, “Tolong
Pak Wito orang-orang suruh ke depan saja. Mengisi shaf yang masih kosong di
depan.” Ku iyakan. Sekitar pukul 07.00 sholat idul fitri pun dimulai. Dengan seorang
Imam dari kota, Ustadz Ismail namanya. Beliau adalah seorang guru di Madrasah
Aliyah Negeri Tanah Grogot. Sekaligus da’i di kampungnya. Sholat di akhiri
dengan dua khutbah dari beliau. Suaranya yang lantang dan tegas mampu membuat
jamaah antusias mengikuti ceramah. Banyak pelajaran yang beliau sampaikan,
antara lain bagaimana kita bisa memakmurkan masjid, sembahyang yang lima waktu
adalah modal utama di kehidupan kelak, dan gelar haji belum cukup selama belum
menjalankan syariat dengan benar.
Pagi ini berbeda. Lampu-lampu
masih menyala karena sengaja mesin genset tetap dinyalakan sebagai bentuk
penghormatan terhadap ‘Hari Fitri’. Leherku terasa dingin diterpa angin dari
mesin kipas. Sejuk dan tenang.
Tiba-tiba suasana pun berubah. Sebuah
fakta pertama kali aku saksikan. Usai mendengarkan khutbah para jamaah
bersalaman, laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Namun,
ada yang berbeda dari biasanya. Mereka saling berpelukan. Dan entah apa yang
membuat airmata mereka saling menetes. Tak terkecuali dengan bapak-bapaknya.
Sebuah tangisan kebahagiaan. Seakan kesalahan-kesalahan yang telah terpendam
lama lebur oleh ketulusan maaf. Dalam hati aku berharap semoga kesalahan-kesalahan itu
tidak terulang lagi dan maaf itu selalu ikhlas dalam setiap waktu.
Usai dari masjid, seperti budaya di
Indonesia pada umumnya, yang muda datang ke yang tua. Dan kejadian itu aku
saksikan lagi. Beberapa orang berpelukan dan menangis. Mungkin ada kenangan
mendalam yang penuh berarti dalam hidupnya yang lalu-lalu.
Sore hari, orang-orang
berbondong-bondong pergi ke pemakaman menggunakan perahu ketinting. Aku pun
selalu tak tertinggal ikut menyaksikan hari yang akan menjadi sejarah dalam
buku harianku ini. Di depan sebuah pemakaman, aku berdoa, mendoakan ahli kubur.
Tiba-tiba datang seseorang menghampiriku memasukkan sesuatu di saku bajuku. Usai
berdoa, ku liat apa yang ada di dalam saku bajuku. Empat lembar uang lima
ribuan. Bingung,... ku cari orang itu. Dengan basa-basi ku kembalikan empat
lembar lima ribuan itu. Ya sebuah pengalaman unik pada 1 Syawal ini.
Menjelang matahari terbenam,
rombongan kami pun pulang dari pemakaman mengendarai perahu ketinting menuju
desa. Ombak kencang membuat tubuh dan baju basah kuyup. Namun, ku liat
ukiran-ukiran senyuman bahagia terus tergores dalam wajah mereka....
Komentar
Posting Komentar