Kini..., kemurahan Yang Maha Kuasa menjadi tumpuan seluruh warga. Air
dari langit, menjadi suatu barang yang lebih berharga daripada emas....
Kemarau telah datang. Wajar panas
yang tinggi menjadi pemandangan setiap harinya di daerah pesisir. Namun, ada
satu hal yang menjadi lengkapnya perjuangan di desa Selengot. Iya lagi-lagi
masalah kebutuhan air bersih. Begitu berharganya air tawar di desa ini. Di
musim kemarau seperti ini, tidak jarang tiap hari melihat perahu-perahu membawa
drum atau jirigen untuk menadah air di pulau seberang sana. Bahkan, kadang kala
jauh-jauh mengambil air ternyata sumur pun kering. Hingga akhirnya terpaksa
harus membeli air ke penampung lainnya yang memiliki penampungan air lebih
banyak itupun kalau mereka masih memiliki air, meski harus menggadaikan emas
yang dimilikinya.
Suatu hari aku pernah
menyaksikan. Karena air benar-benar tidak ada terpaksa air mineral dalam
gelasan menjadi solusinya. Minum, memasak, mandi, bahkan mencuci menggunakan
air mineral itu. Otomatis dalam waktu singkat kantong pun terkuras. Permasalahan air ini mungkin tidak begitu masalah
untuk orang tua. Akan tetapi, anak-anak atau bayi yang baru berusia beberapa
bulan atau beberapa tahun, mereka harus menahan mandi hingga beberapa hari.
Minum,...??? jangan ditanya lagi. Kadang mereka harus meminum air sumur yang
seharusnya tak layak untuk dijadikan sumber minuman bahkan untuk mencuci pun
seharusnya jangan.
Pernah dahulu dibuat pipa air
yang sangat panjang hingga ke pemukiman warga. Namun, entah ulah siapa
lama-lama pipa-pipa itu menghilang begitu saja. Akhirnya, menggunakan perahu
dengan resiko ombak kencang dan berliter-liter bahan bakar menjadi solusi utama
untuk mengambil air.
Siang tadi anak bapak angkatku
berangkat mengambil air ke tempat yang jauh, sekitar 2 jam menggunakan perahu.
Namun, hingga malam ini belum juga datang kembali di kampung. Entah apa yang
terjadi disana melihat ombak yang begitu kencang. HP tidak juga dibawa. Rasa
khawatir pun tak bisa dihindari. Tak terkecuali dengan aku. Pukul 21.00, bapak angkatku
terpaksa harus menyusul kesana, untuk menjawab kekhawatiran itu... Kami yang di rumah menanti jawaban itu dengan merangkai doa.
Komentar
Posting Komentar